Khumeini merupakan tokoh yang dikenal sebagai tokoh revolusi Iran paling spektakuler pada abad 20. Dan orang-orang yang mengenal beliau sebagai orang yang sederhana, bahkan di akhir hidupnya, tercatat bahwa harta peninggalan beliau hanyalah berupa buku-buku dan tak punya pemilikan pribadi.
Dua karpet bekas yang ada bukanlah milik pribadinya dan harus disedekahkan kepada orang miskin sepeninggalnya. Maka jadilah harta-benda yang tersisa dari seseorang yang meninggal dalam usia 90 tahun sebagai pemimpin tertinggi suatu Negara kaya minyak hanya terdiri dari kacamata, alat pemotong kuku, tasbih, mushaf Al Quran,sajadah, surban, jubah ulama dan beberapa buku.
Biografi Khumeini
Nama lengkap beliau, Ayatullah Khumeini, lahir pada jumada Al-Tsaniyah 1320/ 24 September 1902, bersamaan dengan ulang tahun kelahiran siti Fatimah az-zahra binta Muhammad SAW.
Rumah dua tingkat tempat Khumeini di lahirkan, terbangun di atas kebun cukup luas di tengah wilayah agak kering, Khomein, sekitar 200 meter dari Isfahan. Dikelilingi halaman di tiga sisinya, rumah ini memiliki balkon yang sejuk dan dua menara pengawas , yang satu mengarah ke sungai yang mengairi sesawahan, dan yang lain ke jalan-jalan dan kebun-kebun.
Silsilah keluarganya, yang bermuara pada Imam Musa Al-Khazim bin Ja’far Al-Shadiq ibn Muhammad Al-Baqir ibn Ali Zain Al-Abidin ibn Husain ibn Ali bin Abi Thalib r.a. Sang ayah, Sayyid Musthofa, adalah murid dari Taqi Mudarrisi, sebelum akhirnya belajar di bawah mirza Hasan Syirazi (ulama syi’ah terkemuka pada masanya). Selain sebagai ulama terpandang Sayyid Musthofa memiliki dalam dirinya kombinasi sifat-sifat yang terbukti pada akhirnya menurun pada Khumeini: concern pada dhu’afa’ serta keberanian dan sikap konsekuen pada hal yang di perjuangkannya. Sebagai akibatnya sang ayah terbunuh di tangan seorang tuan tanah kaya yaitu Ja’far Quli Khan, seseorang yang tak senang dengan upaya qadhi khomein ini dalam membela para petani kecil. Kemudian tinggal lah Ruhullah, nama beliau sewaktu kecil, yang waktu itu masih bayi di bawah asuhan Hajar (Agha Khanum), ibunya, dan bibinya, Sahiba.
Ayatullah Khumeini terlahir pada keluarga yang sangat religius. Ayahnya bernama Ayatullah Sayyid Mustafa al-Musavi al-Khumeini dikenal sebagai ulama yang sangat disegani. Begitupun juga dengan kakeknya, Sayyid Ahmad Hindi, dan juga kakek ayahnya Sayyid Din Ali Syah. Ibu Ayatullah Imam Khumeini, Hajar Agha Khanom, juga berasal dari keluarga ulama, ayahnya bernama Ayatullah Aqa Mirza Ahmad Khwansari.
Pada 1903, ayah Khumeini meninggal dunia pada usia 42 tahun. Dia dibunuh oleh dua orang bernama Ja’far Quli Khan dan Ridha Quli Sultan, agen-agen rezim Dinasti Qajar (yang berkuasa dari 1796-1926) . Waktu itu Sayyid Mustafa sedang dalam perjalanan menuju ibukota Provinsi Arak untuk menemui Gubernur Adhuh al-Sultan, guna melaporkan situasi yang tidak aman di kota Khumayn. Khumeini kecil sangat berduka atas meninggalnya ayah yang sangat dikaguminya. Di Najaf, Ibunya (Hajar Agha Khanom), dan bibinya (Shahiba Khanom) mengasuh Khumeini. Kemudian atas usul dari menantunya (Sayyid Mustafa), Sayyid Aqa Muhammad yang menganjurkan mereka untuk kembali ke Khumayn.
Sewaktu kecil, beliau merupakan anak yang sangar energik dan semangat. Bahkan beliau tak jarang ketika pulang bermain dalam kondisi baju yang penuh debu dan sobek, bahkan badan Khumeini sering dalam keadaan goresan luka yang diakibatkan permainan dengan sebayanya. Seiring dengan pertumbuhannya, beliau dikenal sebagai juara di beberapa cabang olahraga salah satunya gulat dan lompat jauh yang mana menjadi olahraga kesuakaan beliau. Sifat energik dan semangat beliau, ada yang menyatakan itu merupakan pengaruh dari bibinya, Shahiba. Sahiba memang dikenal sebagai perempuan pemberani dan tegas, sehingga konon akibat kematian Ayatullah Sayyid, dia sempat mengambil alih beberapa pekerjaan yang ditinggalkas oleh saudaranya.
Pada versi yang lain menceritakan, bahwa Khumeini adalah anak yang suka menyendiri dan merenung di padang pasir dekat rumahnya. Pastinya ini berbeda dengan hal di atas, akan tetapi keduanya boleh jadi hanya merujuk kepada dua periode berbeda dalam kehidupan Khumeini muda. Yang mana yang pertama bercerita pada masa kecil dan yang kedua bercerita pada masa remaja Khumeini, yakni ketika berbagai problema menimpa kehidupannya.
Semasa kecil, kurang lebih pada usia tujuh tahun, Khumeini mulai belajar bahasa Arab, syair Persia, dan kaligrafi di sekolah negeri dan di Maktab. Menjelang remaja, Khumeini mulai belajar agama dengan lebih serius. Ketika berusia lima belas tahun, ia mulai belajar tata Bahasa Arab kepada saudaranya Murtaza, yang belajar bahasa Arab dan teologi di Isfahan. Pada usia tujuh belas tahun, Khumeini pergi ke Arak (kota di dekat Isfahan) untuk belajar kepada Syaikh Abdul Karim Haeri Yazdi, seorang ulama terkemuka yang meninggalkan Karbala untuk menghindari pergolakan politik. Sikap ini yang kemudian mendorong kebanyakan ulama terkemuka untuk menyatakan penentangan mereka pada pemerintahan Inggris.
Ayatullah Khumeini adalah orang yang sangat cinta ilmu pengetahuan. Pada tahun 1920, Beliau pergi ke Arab 1920 untuk melanjutkan studinya dan ia dibimbing oleh Ayatullah Aqa Abbas Araki. Di Arak, beliau belajar juga pada Ayatullah Sheikh Abdul Karim Ha’iri (1859-1936). Tidak berapa lama Ayatullah Ha’iri pindah ke Qum dan tinggal selamanya di sana. Kemudian Beliau (Khumeini) menyusul gurunya ke Qum. Di tempat yang baru ini, Imam belajar retorika syair dan tata bahasa dari gurunya yang bernama Syeikh Muhammad Reza Masjed Syahi. Selama belajar di Qum, Imam Khumeini menyelesaikan studi fiqih dan ushul di bawah bimbingan seorang guru dari Kasyan, yang sebelas tahun tua darinya, yaitu Ayatullah ‘Ali Yasrebi.
Tidak lama setelah kepindahan Khumeini ke Qum, terjadi peristiwa penting di Iran. Yaitu, runtuhnya Dinasti Qajar dan tampilnya Dinasti Pahlevi yang direkayasa Inggris (1925). Tampilnya dinasti Pahlevi diawali oleh naiknya Reza Khan sebagai Syah (Raja) Iran yang baru. Sebelumnya, Reza Khan pernah memegang jabatan sebagai Komandan Angkatan Bersenjata (Januari 1920), Menteri Peperangan (Februari 1920), dan Perdana Menteri (1923).
Pada awal tahun 1930-an, Khumeini menjadi mujtahid dan menerima ijazah (dalam menyampaikan hadis) dari empat guru terkemuka. Mereka adalah Syaikh Muhsin Amin Ameli, seorang ulama terkemuka dari Libanon; Syaikh Abbas al-Qummi, seorang ahli hadis dan sejarawan terkemuka, yang juga penulis buku Mafatih al-Jinan (Kunci-Kunci Surga); Abul Qasim Dehkordi Isfahani, seorang Mullah terkemuka dari Isfahan, dan Muhammad Reza Masjed Syahi, yang datang ke Qum pada tahun 1925, karena menentang Syah Reza yang anti-Islam.
Sebagai seorang otodidak yang berbudi luhur, Khumeini selalu menekankan pelaksanaan kewajiban-kewajiban agama dan ketakwaan pada prinsip-prinsip agama Islam. Dengan pemahaman tentang ilmu pengetahuan rasional dan ilmu pengetahuan tradisional yang mendalam. Di usia yang ke-27 tahun, Khumeini mulai mengajar filsafat, dan telah menulis buku-buku tentang berbagai seni agama, dan pada usia 30 tahun. Hingga awal 1960-an, Khumeini melewatkan hidupnya di kota suci Qum. Di sana ia mengajar hukum filsafat, dan etika. Ia berkeras bahwa Islam memiliki komitmen terhadap kehidupan sosial politik. Khumeini menikah dengan Sy’arifah Batul, anak perempuan yang bermukim di Teheran. Mereka dikaruniai lima orang anak, dua orang anak laki- laki dan tiga orang anak perempuan.
Khumeini wafat pada tanggal 3 Juni 1989, dengan memberikan suatu keyakinan kepada kaum Muslim di seluruh dunia bahwa ajaran Islam merupakan ajaran yang mampu menuntun manusia menuju kebenaran. Peranan dan kharisma Khumeini dalam Islam modern memang tidak dapat disangkal. Semoga harapan dan cita-cita beliau dapat menjadi kenyataan dalam sejarah umat manusia di dunia, khususnya kaum muslimin.
Karya-Karya Ayatulah Khumeini
Dalam bidang tasawuf, Khumeini mendapat pengaruh dari salah seorang gurunya Syahabadi. Seorang Mullah yang bukan saja teolog dan sufi yang sempurna, tetapi juga pejuang (mobarez), yang kesemuanya itu merupakan tiga cirri utama dalam kepribadian Khumeini sendiri.
Adapun karya-karya beliau, diantarany:
- Dalam karya perdananya, berisi berbagai masalah perenungan, pengabdian, dan masalah mistik. Menurut ingatan Khumeini sendiri, tulisannya yang pertamanya, merupakan komentar atas suatu hadits yang dikenal sebagai Ra’s Al-Jalut (Kepala Sang Goliat);
- Pada tahun 1928, ia menulis sebuah komentar terperinci dalam bahasa Arab terhadap do’a sebelum fajar selama Ramadhan karya imam Ja’far Shadiq (Syarh Du’a Al- Sakhar). Pada buku ini, Khumeini menunjukkan bukan hanya penguasaan bahasa ‘irfan tetapi juga apa yang telah menjadi pengabdian sepanjang hidup para Dua Belas Imam yang nampak dalam do’a-do’a itu sebagai teks untuk perenungan maupun untuk diucapkan. Karya ini untuk pertama kalinya diterbitkan setelah revolusi, bersama dengan pengantar bahasa Persia dan catatan-catatan oleh Sayyid Ahmad Fihri (Teheran 1369/1980). Aslinya dalam Bahasa Arab diterbitkan secara terpisah di Beirut pada 1402/1982;
- Karya selanjutnya adalah kitab Sirr al-Shalah, yang ditulis juga dalam Bahasa Arab. Terdapat tiga edisi terpisah dari karya ini, salah satunya yang dipersiapkan untuk sayyid Ahmad Fihri, memuat teks Arab dan terjemahan Parsi dan hanya ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits yang dikutip, yang juga diterbitkan sebagai buku edisi terpisah di Teheran pada 1360-1980. kedua edisi lainnya memuat hanya terjemahan Parsi dan seluruh isinya. Dalam karya ini, dimensi simbolis dan makna batin seluruh bagian shalat, dari wudhu sampai salam yang menutupinya, diungkapkan dengan bahasa yang kaya, komplek dan lancar. Gaya bahasa dalam kitab ini sangat dipengaruhi dari konsep-konsep dan terminolog Ibnu Arabi.
Selain karya beliau dalam bidang tasawuf, beliau juga ahli dalam hal fiqih dan filsafat. Dalam mempelajari kedua ilmu tersebut Khumeini banyak dipengaruhi oleh para pemikir dan ulama terkemuka terutama dari kalangan Syi'ah,yakni; Nashiruddin Thusi, yang dengan tulisan-tulisannya membela tulisan–tulisan metafisis Ibnu Sina terhadap serangan teolog; Ibnu Arabi yang karya-karyanya mencerminkan aspek mistis dan lebih genatis dari hikmah Shadruddin Syirazi atau yang lebih dikenal dengan Mulla Shadra (w. 1641) dengan konsep ke’arifan trensenden (al-Hikmah al-Muta'aliyah) dalam kitab al-Asfar al-Arba'ah, kemudian sumbangsih syair mistis penyair Persia, Jalaludin Rumi (w. 1273) dan Hafiz Syirazi (w. 1390), yang merupakan mata rantai penghubung antara 'irfan dan hikmah.
Dalam bidang ilmu kalam; karnya beliua adalah Kasyf al-Asrar dan Wilayati al-Faqih, kalam benar-benar keluar dari batas-batas tradisionalnya dan bergerak dengan pasti ke wilayah teori politik. Dan Lubb al-‘Atsar merupakan karya Khumeini selanjutnya dibidang kalam, kitab ini disebut juga Risalah fi Tholab wa al-‘Iradah wa al-Jabr wa al-Tafwid, sebuah rekaman Ayatullah Ja’far Subhani atas kuliah-kuliah Khumeini dalam bahasa Arab (1951).
Selain karya-karya diatas, sebagaimana yang disebutkan oleh Sa’id Najafian, dalam “Karya-Karya Imam Khumeini, yang di kutib oleh Heri Fadhoil dalam proses skripsinya, adalah:
- Risalah fi al-Tholab wa al-‘Iradah adalah hasil dari tahun-tahun setelah Khumeini memulai kuliahnya tentang Ushul al Fiqh pada tahun 1945;
- Kemudian karya master piece lainnya di bidang politik yaitu, kitab Wilayati al-Faqih atau Hukumat Islami, yang ditulis dalam bahasa Persia, adalah sebuah kompilasi dari sekitar dua belas kuliah Khumeini di Najaf tentang wilayat alfaqih yang dikumpulkan oleh Sayyid Hamid Ruhani;
- Karya-Karya dibidang Ushul Fiqh antara lain; Risalah’i Musytamil bar fawa’idi dar Masa’il Musykilah, yang memuat pendapat-pendapat gurunya Ayatullah Haeri Yazdi dalam bidang Ushul Fiqh, Tahzib al-Ushul (1945), Risalah fi al-Ijtihad wa al-Taqlid (1950), Nayl al- ‘Awthar fi Bayan Qaidat la Dzarar wa la Dzirar (1955), Ta’liqah ‘ala Kifayat wa Ushul (1948), al Tasa’il (1965), Risalah fi Mawdhu’ ‘ilm Al-Ushul, Risalah fi Qa’idat man Malak, Kitab al-Thaharah 3 jilid (1955), Ta’ilqah ‘ala al- ‘Urwat al-Wusqa (1955), al-Makasib al Mukarammah (1961), Hasyiyah Tawdid al Masa’il (1961), Risalah Najat al-‘Ibad, Hasyiyah Risalah-ye Irs, Ta’liqah ‘ala Washilat al-Najat, Tahrir al-Washilah (1946), Manashikh Hajj (1964), Kitab al-Bay (1976), Kitab al Khalal fi al-Shalat (1978) dan Risalah fi Ta’yin al-Fajr fi al-Layali al-Muqamirah (1988).
Pemikiran Ayatullah Khumeini Dan Kontribusinya Pada Masa Sekarang
Dalam berbagai literatur yang ada, Khumeini tidak pernah secara khusus menyebut nama tasawuf. Sebgai gantinya beliau sering menyebut dengan kata irfan.
Istilah Irfan , sebagaimana istilah ma’rifah yang berasal dari akar kata yang sama dalam bahasa Arab – secara literal berarti ilmu pengetahuan. Makna khususnya adalah ilmu pengetahuan tertentu yang diperoleh tidak melalui indera maupun pengalaman (empirisme & eksperimentasi), tidak pula melalui rasio atau cerita orang lain, melainkan melalui penyaksian ruhani dan penyingkapan batiniah. Kemudian fakta tersebut digeneralisasikan menjadi suatu proposisi yang bisa menjelaskan makna penyaksian dan penyingkapan tersebut antara lain melalui argumentasi rasional (misalnya dalam filsafat iluminasi (Isyraqiyah). Inilah yang disebut dengan Irfan (teoritis). Dan karena penyaksian dan penyingkapan tersebut dicapai melalui latihan-latihan (riyadah) khusus dan perilaku perjalanan spiritual tertentu (syair wa suluk) maka yang terakhir ini disebut Irfan ‘Amali (praktik Sufisme/Tashawwuf).
Sebenarnya, secara terminologi, beliau tidak membedakan istilah tasawuf dan irfan, beliau hanya sekedar pemakaian kata yang berbeda, secara esensi tasawuf dan irfan adalah sama, yakni sebuah jalan menuju Allah.
Khumeini menyebut ahli hikmah seperti al-Farabi, dan ibn Sina juga ahli ma’rifat seperti Shuhrawardi dan Ibn Arabi. Inilah petunjuk bagi orang yang ingin meninggalkan dunia menuju dunia ruhani. Inilah pengantar apa yang disebut tasawuf, walaupun Khumeini tidak menyebutnya demikian.
Tasawuf (irfan) dalam pengertian beliau bukanlah ibadah yang di tendensikan pada sesuatu, seperti pada awal kemunculan tasawuf, yang meninggalkan dunia (zuhud) atas dasar takut kepada Allah. Pada umumnya orang salah memahami pengertian tasawuf dengan zuhud dan ibadah (‘abid). Seseorang boleh jadi seorang zahid, tetapi bukan ‘abid, boleh abid tapi tidak zahid. Baik abid dan zahid belum tentu ‘arif. Akan tetapi, seseorang yang ‘arif sudah semestinya zahid dan abid. Namun zahid dan abidnya ‘arif berbeda dengan zahid dan abidnya orang yang tidak ‘arif.
Menurut at-Tilimsani, yang membedakan adalah tujuan, bukan cara. Seorang ‘arif berlaku zuhud karena ia ingin menghindarkan diri dari sesuatu yang memalingkan dari Allah, ia juga beribadah bukan karena mengharap pahala atau takut neraka. Seorang sufi beribadah karena Dia (Allah) memang berhak diibadahi. Sufi menyembah Allah karena cinta.
Dalam do’anya Rabi’ah al-adawiyah: “Tuhanku, sekiraya aku menyembah-Mu karena takut akan api neraka-Mu, masukkanlah aku kedalamnya. Jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu, jauhkanlah aku darinya. Namun jika aku menymbah Engkau karena Engkau semata, janganlah Engkau haramkan aku dari memangdang-Mu.”
Jadi, tasawuf (‘arif) sebenarnya merupakan tahapan dari ibadah dan zuhud. Orang menjadi sufi manakala ia telah meninggalkan ibadah egoistik menuju ubadah yang semata-mata berdasarkan cinta.
Wasiat Sang Sufi
Kebergantungan Manusia Terhadap Allah
Semua kemaujudan itu faqir (bergantung pada sesuatu yang lain) karena mereka bukannya ada dengan sendirinya.
Jika diamati segenap rantai tak berujung kemaujudan dengan cahaya akal, maka akan mendengar jeritan kebutuhan dan kebergantungan (esensial) untuk keberadaan mereka maupun penyempurnaan mereka. Mereka mengakui kebergantungan (mereka) kepada yang ada dengan sendirinya (dan) Yang Kesempurnaan-Nya adalah Miliknya Sendiri.
Sejak jaman manusia dilahirkan, manusia secara peribadi, manusia mempercayai kekuatan yang luar biasa diluar kehendak dirinya, yakni Tuhan.
Bahkan, lebih dari itu, fitrah mereka pun (sebenarnya) bukan milik mereka:
dalam surat Qs. Al-Rum: 30 di sebutkan: "Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah".
Fitrah ketauhidan adalah dari Allah, dan apa saja yang didalam dirinya bersifat bergantung (al-faqir bi al-dzat) tak akan bisa menjadi serta mencukupi diri (ghani bi al-dzat). Perubahan yang seperti itu adalah sesuatu yang mustakhil, dan karena mereka secara esensial bergantung dan membutuhkan, tak ada kecuali Dia Yang mencukupi Diri yahg dapat mengatasi kebutuhan dan kepapaan mereka.
Alam Semesta Sebagai Penampakan Allah
Allah SWT adalah dzat yang, Dia Yang Pertama dan Terakhir, Yang Lahir dan Yang Batin. Atau dalam kata Furuqi Busthomi yang di kutip oleh Yamani, “Kau tak pernah tak hadir sehingga aku perlu merencanakan bertemu dengan-Mu. Tak pula Kau bersembunyi sehingga ku harus mencari-Mu.” Sesungguhnya diri kita sendiri yang menjadi hijab, egoisme, dan ego kitalah yang menghalangi pandangan kita.
Dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 164, Allah SWT menegaskan bahwa semesta alam adalah 'ayat-ayat-Nya' yang diperlihatkan kepada manusia. Dia ingin menunjukkan eksistensinya pada manusia lewat sebuah 'tanda', sebagai petunjuk atas adanya 'Yang Menandai'.
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Al-Baqoroh:164)
Ibnu Arabi menyebut bahwa alam adalah 'cermin' sekaligus 'bayangan' Tuhan. Lewat alam ini, Tuhan sebetulnya ingin memperlihatkan, mengenalkan, sekaligus melihat dirinya sendiri lewat pantulan dalam 'cermin'. Dalam terminologi tasawuf dikatakan Allah SWT ber-tajalli lewat alam.
Al-Qur’an, Rasul dan Para Imam
Akrabkanlah dirimu pada al-Qur’an, kitab agung pengetahuan ini, meski hanya sekedar membacanya (tanpa mempelajarinya). Karena hal tersebut secara tidak kita sadari, kita telah membangun hubungan dengan yang Terkasih. Bukankah ini kitab yang datang dari yang terkasih untuk semua orang. Dan do’a-do’a yang telah sampai kepada kita melalui para imam yang ma’shum adalah petunjuk bagi (upaya kita untuk) mengenal-Nya. Inilah cara yang paling luhur untuk menggapai kehambaan (‘ubudiyah) dan hubungan antara Allah dan ciptaannya-Nya.
Kecintaan Manusia Pada Kesempurnaan
Perlu kita ketahui, bahwa dalam diri manusia terdapat suatu kecintaan bawaan dan tak dapat disangkal akan kesempurnaan mutlak dan kecintaan akan persatuan dengan Allah. Ini terjadi dikarenakan dalam diri manusia terdapat dua unsur,yakni Nasut (Sifat kemanusiaan/alam) dan Lahut (Sifat Ketuhanan). Sehingga dari unsur tersebut memungkinkan terjadinya penyatuhan dengan-Nya. Kesempurnaan mutlak itu adalah Allah dan kepada-Nya semua orang mengejar dan mencintainya sepenuh hati meskipun orang itu boleh jadi tak mengetahui (bahwa ia mencintai-Nya) akibat keberadaannya dalam perangkap hijab-hijab kegelapan dan cahaya.
Cinta Diri Sebagai Hijab Antara Manusia dan Allah
Hal tercela yang menjadikan sumber seluruh kerusakan, kehancuran akan seluruh kesalahan adalah kecintaan kepada dunia yang tumbuh dari cinta diri. Dunia material (mulk) ini pada dirinya sendiri tidak tercela karena ia merupakan penampakan Allah dan Kerajaan-Nya, tempat turunnya para malaikat, seperti juga tempatpara nabi, 'alayhimus-salam, dididik dan sujud kepada Allah. Dunia ini adalah kenisah (tempat ibadah) bagi orang-orang saleh dan suatu tempat yang di dalamnya Kebenaran diwahyukan ke dalam hati-hati para pencinta Kekasih-Hakiki.
Sejalan dengan itu, jika kecintaan kepada dunia bersumber dari kecintaan kepada Allah, maka kecintaan tersebut akan menjadi sesuatu yang terpuji. Namun, jika sebaliknya, jika kecintaan kepada dunia lebih utama, maka kecintaan kepada Allah akan tertutupi, atau disebut terhijab oleh dunia.
Kecintaan Fitri Manusia Kepada Allah
Karena sifat Ilahi (yang ada didalam diri) kita, maka kita mencintai kesempurnaan mutlak. Akibat cinta ini adalah (kita) mencintai semua kesempurnaan. Oleh karena itu, secara tak sadar kita merupakan pecinta-pecinta Allah, yang (Dia-Nya) adalah kesempurnaan mutlak.
Lawan kesempurnaan adalah ketidakberadaannya. Kita tak dapat memahami fakta ini karena kita adalah penjara (dalam) hijab. Jika (hijab) itu terangkat (maka kita akan mengetahui) bahwa apa saja yang datang dari Allah, 'Azza wa Jalla, adalah tercinta (mahbub), dan apa saja yang tidak disukai adalah bukan dari Dia dan, karena itu, tak memiliki keberadaan. Engkau harus tahu bahwa, dalam merujuk kepada hal-hal yang bertentangan itu sebenarnya ada (hal-hal) yang telah kita abaikan.
Antara Filsafat dan ‘Irfan
Klaim bahwa adalah mungkin untuk percaya pada fakta-fakta tertentu yang tidak berdasarkan bukti rasional tampak sulit dipercaya atau tak berdasar. Namun, orang mesti tahu bahwa ini adalah perkara keyakinan dan al-Qur’an telah mengisyaratkan hal itu. Sebagaimana telah kita amati dan ketahui dengan baik, para nabi dan para wali yang ikhlas tak pernah menggunakan bahasa dan argument filosof (dalam dakwah mereka) tetapi menghimbau kepada jiwa dan hati orang-orang, serta menyampaikan kesimpulan-kesimpulan dari argument seperti itu kedalam hati orang-orang. Orang boleh mengatakan bahwa para filosof dan para metafisika melipatgandakan hijab. Tapi para nabi dan orang-orang orang mengandalkan hati mengangkat hijab. Dengan demikian, orang-orang yang mereka asuh adalah pecinta-pecinta yang setia dan sepenuh hati, akan tetapi kaum filosof dan orang yang terlatih dalam ajaran-ajaran mereka lebih menyukai argument dan diskusi dan tak mengurus dengan baik hati dan jiwa.
Akan tetapi bukan berarti pernyataan ini dimaksutkan untuk menjauhkan dari filsafat dan ilmu rasional, karena hal itu merupakan pengkhianatan kepada akal. Akan tetapi filsafat dan penalaran adalah sarana untuk meraih sasaran yang sebenarnya.
Tobat Dan Masa Muda
Manfaatkanlah masa muda kita dengan sebaik-baiknya, hiduplah dengan ingat kepada-Nya, ingat kepada Allah sama sekali tak akan menghalangi aktivitas-aktivitas social politkmu dalam melakukan pengabdian kepada agama Allah dan makhluk-Nya. Lakukanlah instropeksi diri dalam membedakan jalan Allah dan jalan pemenuhan diri sendiri. Taubat adalah lebih mudah bagi orang muda, perbaikan-perbaikan dan penyucian diri dapat berlangsung dengan cepat.
Jika dianalogikan, perjalanan hidup manusia itu adalah jalan yang lurus, ketika kita keluar dari jalur jalan tersebut, yang terjadi adalah dosa. Ketika hal tersebut selalu dilakukan, maka semakin jauh dari jalan lurus tersebut. Untuk kemmbali kepada jalur tersebut, maka diperlukannya taubat.
Syafaat Nabi dan Para Imam
Menurut salah satu penjelasan tentang hadits, Imam Shadiq a.s. memanggil seluruh anggota keluarganya pada hari-hari terakhir masa-hidupnya dan mengatakan hal seperti ini, "Besok, ketika engkau menghadap Allah, tetaplah
mengerjakan amal-amalmu. Jangan bayangkan bahwa hubungan-kekeluargaanmu denganku ada gunanya (untuk membantumu di akhirat kelak)." Lebih dari itu, amatlah mungkin bahwa yang akan dapat mengambil manfaat dari syafaat seperti itu adalah orang-orang yang telah mengembangkan ikatan-spiritual dengan para pemberi syafaat, dan hubungan mereka dengan Allah telah memenuhi syarat bagi dimungkinkannya pemberian syafaat sedemikian.
Hubungan dengan Manusia, Allah, dan Kaum Papa
Janganlah engkau tinggalkan dunia ini dalam keadaan orang menuntut hakna yang pernah kau langgar karena hal tersebut akan melemparkanmu dalam kesulitan besar. Berusahalah untuk memperbaiki keadaanmu dalam hal akhlak dan watak meski hal itu boleh jadi akan mengharuskanmu untuk melalui kesusahan dan hidup prihatin. Cobalah untuk mengurangi keterikatanmu dengan dunia yang fana’ ini. Setiap engkau mencapai persimpangan jalan, ambillah jalan kebenaran dan hindari kepalsuan.
Adalah suatu keharusan bagi kita untuk terlibat dalam hal politik dan social (yakni politik yang sehat dan positif) pemerintah ini. Karena hanya dengan ini pemerintahan ini didirikan dan bisa bertahan hidup.
Masalah Pribadi dan Keluarga
Apa yang dinyatakan dalam hadits -yakni bahwa "surga terletak di telapak kaki ibu" adalah suatu kenyataan. Dan hal itu telah diungkapkan dengan cara yang anggun seperti itu demi menekankan nilai-pentingnya yang luar-biasa dan untuk mengingatkan kepada anak-anak agar mencari kebahagiaan dan surga dalam debu di telapak kaki ibu. Juga agar mereka selalu ingat bahwa menghormati ibu adalah seperti berkhidmat kepada Allah. Dan agar seseorang mencari keridhaan Allah dalam keridhaan ibu. Meski semua ibu adalah teladan, sebagian di antara mereka memiliki sifat-sifat khusus tertentu.
Hormatilah Ibumu, anak-anakmu, saudaramu dengan penuh keihlasan dan penuh pengorbanan.
Sumbangsih pemikiran beliau dalam dunia modern, ketika kita tarik garis besar pemikira beliau, pemikiran beliau banyak yang relevan ketika kita gunakan dalam menghadapi dunia modern. Disamping beliau sebagai seorang yang ‘arif, beliau sama sekali tak meninggalkan rasionalitas (filsafat), dalam masalah taubat, beliau mengartikannya dengan penuh rasional bukan semata-mata hanya tendensi agama, beliau pun sangat mengedepankan masalah keluarga, hormat-menghormati, serta hubungan dengan orang lain (sosial).
Bahkan dalam sejarah tercatat, beliau adalah seorang cendekiaawan dan seorang revolusioner Iran. Bagi beliau Islam adalah suatu sistem yang universal tidak mengenal batas. Beliau adalah seorang ‘arif yang menjadikan ajaran tasawuf sebagai ideologi revolusi (bahkan politik). Bagi Khumeini, seorang ‘arif tak akan benar-benar mencapai maqam spiritual tertinggi jika tidak memanifestasikan keimanan-puncak, yang telah diraihnya lewat dua perjalanan pertama, dalam bentuk concern sosial politik untuk mereformasi masyarakat dan membebaskan kaum tertindas dari rantai penindasannya.
DAFTAR PUSTAKA
- M. Heri Fadoil, Konsep Pemerintahan Religius dan Demokrasi: Studi Banding Abdul Karim Shoroush dan Ayatullah Khumeini, Skripsi, IAIN Sunan Ampel, 2008.
- Rakhmat, Jalaluddin, Tasawuf Dalam Pandangan Imam Khumeini “Kuliah-Kuliah Tasawuf, ed. Sukardi, Bandung: Pustaka Hidayah, 2000.
- Yamani, Wasiat Sufi Ayatullah Khumeini: Aspek Sufistik Ayatullah Khumeini Yang Tak Banyak Diketahui, Bandung: Mizan Media Utama, 1994.
- Alfira M. Nur Lani, http://www.forumsantri.com/thread-1535.html.
- Al-Hussaini , Ahmad Y. Samantho, Tasawuf dan Irfan Dalam Islam: Saduran dari http://ahmadsamantho.wordpress.com/2007/05/22/tasawuf-irfan-dalam-islam/, 16 Juni 2011.
- http://alvero.multiply.com/reviews/item/10.
- http://politik.kompasiana.com/2010/08/21/revolusi-dan-tipologi-kepemimpinan-ayatullah-Khumeini/: disadur pada 17 Juni 2011.
- http://www.cahayapengharapan.org/khotbah/pengenalan_injil/texts/apakah_anda_ membutuhkan_allah.htm.
- http://www.mui-bogor.org/index.php?option=com_content&view=article&id=39:alam-dan-eksistensi-allah&catid=8:artikel-ketua-umum&Itemid=54
- Lani, Alfira M. Nur, http://www.forumsantri.com/thread-1535.html.
0 komentar:
Posting Komentar