17.13
0
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya), bukanlah menjadi masalah pribadi ataupun masalah regional, namun masalah NAPZA sudah menjadi masalah nasional. Tidak hanya pada orang dewasa, sekarang ini NAPZA sudah banyak diidap oleh kamu muda bahkan juga anak-anak usia sekolah dasar. Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya (NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA (Narkotika dan Bahan/ Obat berbahanya) merupakan masalah yang sangat kompleks, yang dalam penanganannya memerlukan upaya secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten. Meskipun dalam Kedokteran, sebagian besar golongan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) masih bermanfaat bagi pengobatan, namun bila disalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi medis atau standar pengobatan terlebih lagi bila disertai peredaran dijalur ilegal, akan berakibat sangat merugikan bagi individu maupun masyarakat luas khususnya generasi muda.

Maraknya penyalahgunaan NAPZA tidak hanya dikota-kota besar saja, tapi sudah sampai ke kota-kota kecil diseluruh wilayah Republik Indonesia, mulai dari tingkat sosial ekonomi menengah bawah sampai tingkat sosial ekonomi atas. Dari data yang ada, penyalahgunaan NAPZA paling banyak berumur antara 15–24 tahun. Tampaknya generasi muda adalah sasaran strategis perdagangan gelap NAPZA. Oleh karena itu kita semua perlu mewaspadai bahaya dan pengaruhnya terhadap ancaman kelangsungan pembinaan generasi muda. Sektor kesehatan memegang peranan penting dalam upaya penanggulangan penyalahgunaan NAPZA.

Berbagai upaya telah banyak dilakukan pemerintah dalam penanggulangan masalah NAPZA, dari segi Hukum misalnya:

a. Tentang Kesehatan, yang tercantum dalam undang – undang Republik Indonesia nomor. 23 tahun 1992, berbunyi: “ (a). Bahwa kesehatan sebagai salah satu unsure kesejahteraan umum harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 melalui pembangunan nasional yang berkesinambungan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; (b). Bahwa pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan, yang besar artinya bagi pembangunan dan pembinaan sumber daya manusia Indonesia dan sebagai modal bagi pelaksanaan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia; (c). Bahwa dengan memperhatikan peranan kesehatan diatas, diperlukan upaya yang lenbih memadai bagi peningkatan derajat kesehatan dan pembinaan penyelenggaraan upaya kesehatan secara menyeluruh dan terpadu; (d). Bahwa dalam rangka peningkatan derajat kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud butir b dan butir c, beberapa undangundang dibidang kesehatan dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan tuntutan pembangunan kesehatan; (e). Bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, perlu ditetapkan Undang-undang tentang Kesehatan;

b. Tentang Psikotropika, termaktup dalam instruksi presiden republik indonesia nomor 3 tahun 2002 tentang tentang penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor, dan zat adiktif lainnya: “ a). bahwa perkembangan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor, dan zat adiktif lainnya sudah memasuki fase yang sangat membahayakan dan merupakan ancaman strategis bagi kelangsungan pertumbuhan kehidupan bangsa dan negara; b). bahwa upaya penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor, dan zat adiktif lainnya perlu dilakukan secara komprehensif, multi dimensi, dan terkoordinasi dengan melibatkan Pemerintah dan seluruh unsur lapisan masyarakat; c). bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara yang bersih, sehat berwibawa, dan demokratis tidak saja dibutuhkan sumber daya manusia yang mempunyai kemampuan profesionalisme dan integritas yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya, tetapi juga bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor, dan zat adiktif lainnya; d). bahwa sehubungan dengan hal-hal sebagaimana tersebut dalam huruf a, huruf b, dan huruf c di atas, dipandang perlu menetapkan Instruksi Presiden tentang Penanggulangan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan Zat Adiktif lainnya;

c. Tentang Narkotika, undang - undang Republik Indonesia nomor 22 tahun 1997 tentang narkotika: “a). bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,maka kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu ditingkatkan secara terus menerus termasuk derajat kesehatannya; b). bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan dibidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain pada satu sisi dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat dan sisi lain melakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika; c). bahwa narkotika disatu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat dibidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, dan disisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanda pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama; d). bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi,menanam menyimpan, mengedarkan, dan menggunakan narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat, serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah kejahatan karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia; e). bahwa kejahatan narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi dan teknologi canggih, sedangkan peraturan perundang-undangan yang ada sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi kejahatan tersebut; f). bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a,b, c, d, dan e serta pertimbangan bahwa Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi, maka perlu dibentuk Undang-undang baru tentang Narkotika.”

Disamping hal tersebut, juga terdapat hukum-hukum yang lain, seperti hukum obat-obatan dan Ham. Dari hal tersebut, saya menggaris bawahi, bahwa secara aturan yang ada Indonesia sudah ada, akan tetapi pada kenyataan lapangan, banyak hal yang keluar dari hokum yang telah ditentukan. Banyak obat-obatan jenis (Narkotika Golongan III) beredar bebas dipasaran, bahkan beli tampa resep dokterpun tak menjadi masalah.

Penegak hokum di Indonesia sudah tak mampu menganyomi masyarakat, sekarang banyak pengedar, pemakai NAPZA yang dimasukkan ke rumah tahanan, namun didalam tahanan pun tidak menjadikan dia jera, akan tetapi penjara dijadikan ebagai tempat distribusi NAPZA. Tentunya ini sangat ironis, disatu sisi NAPZA sangat diperangi di sisi lain NAPZA menjadi ladang rizki yang sangat menguntungkan. Hal yang paling mendasari atas kemelencengan diatas, menurut saya adalah terletak pada moral, secara hokum cara-cara dan sanksi pun sudah dilegalkan, namun pada realita legalitas itu tak dilaksanakan.

Menurut saya, berbagai cara tak akan mempu menyelesaikan masalah NAPZA apabila secara dasar, yakni moral tak dibenahi. Solusi yang saya tawarkan untuk memberikan sumbangsih pengurangan pengguna NAPZA adalah melalui sebuah kelompok. Mungkin ini memang tak Nampak hasil yang didapatkan, tapi dari kelompok yang produktif dan positif, kemungkinan ini akan mengurangi penggunaan NAPZA, karena kita tahu, bahwa separuh dari pengguna adalah berasal dari pergaulan (kelompok) untuk itu kita lawan dengan kelompok juga. Kelompok ini bisa dibentuk di sekolah, yang mana dalam kelompok tersebut, kita kasih info-info tentang NAPZA serta kita ajak langung melakukan penelitian kecil-kecilan tentang NAPZA. Karena dari belajar, bimbingan, dan pengawasan secara langsung individu (siswa) akan merasa mempunyai kelompok yang sehat dan anti NAPZA.

Untuk “korban” solusinya juga kelompok, sering seorang korban napza tidak berhenti mengkonsumsi NAPZA, karena mereka merasa sudah tidak mempunyai harapan untuk hidup normal bersama sesamanya. Semangat, spirit hidup telah hilang. Ini bisa ada manakala ada yang memberikan semangat, yakni teman sebayanya.

Dalam perundangan hokum nasional yang mengatur mengenai tindak pidana NAPZA, juga ada penegasan pecandu NAPZA selain adalah pelaku kejahatan juga adalah sebagai korban. Dalam konteks UU no. 5/1997 tentang psikotropika dan UU no. 22/1997 tentang Narkotika dinyatakan sebagai berikut:

a. pasal 37 ayat 1 UU no. 5/1997 menyatakan: “pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan berkewajiban ikut serta dalam pengobatan dan atau perawatan”.

b. pasal 44 ayat 1 UU no. 22/1997 tentang Narkotika, intinya menegaskan bahwa untuk kepentingan pengobatan dan atau perawatan pengguna narkotika dapat memiliki, menyimpan dan membawa narkotika, dengan syarat narkotika tersebut diperoleh secara sah. Pada pasal 45 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pecandu wajib menjalani perawatan dan pengobatan.

Memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut, maka secara implisit dinyatakan bahwa pengguna NAPZA adalah korban yang sepatutnya mendapatkan hak-haknya sebagai korban terutama hak atas rehabilitasi. Dari dasar hokum tersebut, maka yang bias diberikan lewat kelompok adalah untuk mengusahakan 2 hal:

a. bantuan medis; b. bantuan rehabilitasi psiko-sosial.

Dalam penjelasannya dinyatakan: “yang dimaksud dengan "bantuan rehabilitasi psiko-sosial" adalah bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban” Dalam hukum internasional, reparasi adalah hak korban yang tidak dapat dihilangkan dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Untuk menjamin reparasi komisi HAM PBB telah membuat prinsip dasar dan panduan yang dikenal dengan “Basic Principles and Guidelines on the Rights to a Remedy and Reparation”. Reparasi yang diatur dalam hukum internasional ada 4 (empat) bentuk yaitu:

1. Kompensasi; 2. Restitusi 3. Rehabilitasi 4. Jaminan tidak berulangnya pelanggaran berat HAM tersebut.

Menurut Prinsip-prinsip Van Boven-Bassiouni, ”Rehabilitasi yang juga harus menyertakan perawatan medis dan psikologis dan psikiatris.” Dari paparan diatas dapat diperhatikan bahwa salah satu hak yang dimiliki korban yaitu : berhak untuk mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi. Ketika kedua hal tersebut sudah korban dapatkan, maka selanjutnya semangat hiduplah yang harus diberikan kelompok kepada korban.

Sumber data:

http://www.tempointeraktif.com/hg/peraturan/2004/03/29/prn,20040329-23,id.html

http://www.tempointeraktif.com/hg/peraturan/2004/04/06/prn,20040406-13,id.html

http://www.tempointeraktif.com/hg/peraturan/2004/04/13/prn,20040413-05,id.html

http://gendo.multiply.com/journal/item/7/URGENSI_VONIS_REHABILITASI_TERHADAP_KORBAN_NAPZA_DI_INDONESIA

http://lkpk.org/2007/11/01/mengurangi-risiko-bahaya-pencegahan-dan-perawatan/

0 komentar:

Posting Komentar