Ewoh aya ing pambudi
Melu edan nora tahan
Yen tan melu anglakoni
Boya kaduman melik
Kaliren wekasanipun
Ndilalah karsa Allah
Begja-begjaning kang lali
Luweh begjo kang eling lan waspada
(Serat Kala Thida: Syair 7)
Syair tersebut adalah bagian dari serat Kalatidha yang terdapat pada ke syair tujuh dari 12 syair. Serat Kalatidha karya Ronggowarsito merupakan naskah kuno yang tertuang dalam Serat Centhini jilid IV (karya Susuhunan Pakubuwono V) pada Pupuh 257 dan 258. Syair-syair ini sering kita kenal dengan ramalan dari Jayabaya untuk dunia. Karya sastra ini ditulis kurang lebih pada tahun 1860 Masehi. Kalatidha adalah salah satu karya sastra Jawa yang ternama. Bahkan sampai sekarang banyak orang Jawa terutama kalangan tua yang masih hafal paling tidak satu syair syair ini.
Syair Kalatidha hanya terdiri dari 12 syair dalam metrum Sinom. Kala tidha secara harafiah artinya adalah "zaman gila" atau zaman édan seperti ditulis oleh Rangga Warsita sendiri. Konon Rangga Warsita menulis syair ini ketika pangkatnya tidak dinaikkan seperti diharapkan. Lalu ia menggeneralisir keadaan ini dan ia anggap secara umum bahwa zaman di mana ia hidup merupakan zaman gila di mana terjadi krisis. Saat itu Rangga Warsita merupakan pujangga kerajaan di Keraton Kasunanan Surakarta. Ia adalah pujangga panutup atau "pujangga terakhir". Sebab setelah itu tidak ada "pujangga kerajaan" lagi.
Dalam syair Kalatidha dibagi menjadi tiga bagian: Bagian pertama ialah tentang keadaan masa Rangga Warsita yang menurut ialah tanpa prinsip, syair ini terdapat pada syair 1 (satu) sampai 6 (enam). Bagian kedua isinya ialah ketekadan dan sebuah introspeksi diri, ini terdapat pada syair ke 7 (tujuh). Sedangkan bagian ketiga isinya ialah sikap seseorang yang taat dengan agama di dalam masyarakat yang mana terdapat pada syair 8 (delapan) sampai dengan 12 (dua belas).
Enak Sama Dengan Edan?
Jadi, enak kepenak sama dengan edan? Ya mungkin saja. Sebab mengurus Zaman Edan itu sejak dulu selalu repot. Tiap periode sejarah Nusantara sejak zaman kerajaan, zaman Belanda, Jepang, dan bahkan RI pasca 45 selalu saja dituding memuat Zaman Edannya masing-masing. Orang pusing menentukan Zaman Edan yang tulen. Tapi, bawel soal Zaman Edan adalah keutamaan orang Jawa. Ini bisa jadi terapi jiwa dan manjur menangkal segala rubeda alias kesulitan. Pendeknya, serbaguna.
Ramalan Jayabaya
Serbagunanya, antara lain kita jadi respek pada warisan nenek-moyang yang amat menakjubkan. Tapi ia rumit bukan main sebab begitu banyak arsipnya. Salah satu arsip itu menyebut-nyebut Eyang Prabu Jayabaya. Beliau salah satu Maharaja Kediri dari Mamenang, kabarnya sakti mandraguna, tapi cuma tahan memerintah 22 tahun (1135-1157) alias tidak sampai seperempat abad. Ini untuk ukuran Raja Jawa sudah super. Banyak koleganya cuma tahan beberapa tahun. Yang memerintah cuma beberapa bulan juga ada. Jadi, dalam faham Jawa, Soeharto itu tergolong raja super.
Prabu Jayabaya diisukan mencipta Ramalan Jayabaya yang memeluk 2100 tahun waktu rembulan, berisi 21 zaman - salah satunya ialah Zaman Edan. Mencipta, itu dalam arti menulis sendiri atau suruhan orang lain, tidak jelas. Sebab zaman itu hidup dua pujangga kondhang ialah Empuh Sedah dan Empu Panuluh.
Kerumitan Lain Masih Banyak
Penelitian dan utak-atik lewat segi bahasa, isi (yang singkatnya menyangkut catatan kejadian dan ramalan) dan zaman, menyimpulkan Ramalan Jayabaya itu bukan karangan Jayabaya. Ia cuma salinan atau turunan yang sudah penuh tambal-sulam sang penyalin. Ini pun dengan asumsi kalau sang babon alias sumber aslinya memang betul-betul ada.
Para pakar yang faham membedakan Jawa Kuno, Kawi dan Jawa lain-lain yang entah Jawa apa, menunjuk aneka ragam ramalan itu tertulis dalam bahasa Jawa relatif muda dan miskin Kawinya. Itu artinya terpisah sekitar 7 abad dari sang babon di Kediri abad XII.
Lagi pula, teks-teks tersebut amat warna-warni nyaris campur aduk terdiri atas prosa, puisi, dan legenda. Itulah babad yang rekonstruksi kadar nilai historisnya menuntut kejelian kerja sama berbagai disiplin ilmu.
Singkatnya, publik masa kini cuma dapat warisan teks-arsip-sastra Bengawan Solo abad XIX yang mengacu pada anak bengal yang pernah dianggap bodoh tapi jebulnya berotak ajaib mungkin sekaliber Sokrates atau Iqbal atau Thomas Aquinas yang lalu jadi pujangga kraton Surakarta, yaitu, Ranggawarsita. Ia lahir Senin Legi 15 Maret 1802 dan wafat entah wajar atau dihukum mati pada 24 Desember 1873.
Ranggawasita dan Zaman Edan
Ada apa dengan Raden Ngabehi Ranggawarsita? Nasibnya bekas anak bengal, beliau dicurigai jadi salah satu dalang yang mengarsiteki Ramalan Jayabaya. Benar tidaknya, embuh. Yang jelas, banyak orang kacau membedakan Ramalan Jayabaya dengan karya-karya beliau. Sebab Raden Ngabehi yang dulunya bernama Bagus Burham itu di samping menulis banyak karya seperti Pustaka Raja Purwa, Candrasangkala, Wedha Yatmaka, Wedha Raga dan lain-lain juga menulis ramalan dalam empat Serat ialah Jaka Lodang, Sabda Jati, Kala Tidha dan Sabda Tama. Yang disebut Zaman Edan alias Kala Bendhu yang tersohor itu bisa ditemukan tersebar di empat Serat tersebut.
Salah satu contohnya - paling kacau dikira Ramalan Jayabaya - yang amat pop ke publik ialah Serat Kala Tidha "syair" 7 (seluruhnya 12). Begini:
Hamenangi zaman edan/Ewuh aya ing pambudi/Milu edan nora tahan/Yen tan milu anglakoni/Boya kaduman melik/Kaliren wekasanipun/Ndilalah karsa Allah/Begja-begjaning kang lali/Luwih begja kang eling lawan waspada. (Hidup di zaman edan, mengacaukan akal budi. Ikut edan mana tahan, kalau tak ikut tak dapat apa-apa. Akhirnya kelaparan. Tapi berkat Kehendak Tuhan, betapa pun happy mereka yang lupa-amoral-menyimpang, masih tetap happy mereka yang sadar menjaga budi pekerti).
Bahwa khalayak kacau membedakan dua paket karya susastra budaya, itu tampaknya karena tulisan-tulisan Ranggawarsita terasa pas-seirama-senafas dengan ciri-ciri dan perlambang Zaman Edan dalam Ramalan Jayabaya.
Ciri dan perlambang Zaman Edan dalam Ramalan Jayabaya ialah kekacau-balauan yang total-luas-mendalam. Alam dihajar kelainan. Sikon obyektif manusiawi dan kehidupan sarat dengan penyimpangan di segala sektor.
Di sektor alam misalnya terjadi banyak gempa bumi. Gunung njebluk. Banjir. Hujan topan semau sendiri atau tiba-tiba mogok total. Matahari marah. Pantai berubah letak. Sawah ladang meranggas. Anak kambing makan tokek. Ular mandi api. Keledai jadi raja hutan. Kera naik kuda. Dan seterusnya.
Yang mengerikan dalam Zaman Edan ialah penyimpangan dalam kehidupan. Penyimpangan ini kompleks tapi berpangkal pada tiga hal ialah artati alias uang, nistana berarti kemelaratan dan jutya alias kriminalitas.
Menyangkut artati, maka zaman ditandai mata kontan jadi hijau sampai merah saat melihat uang. Orang jadi rakus. Homo homini lopus jadi sikap hidup.
Menyangkut nistana, kemelaratan dalam arti luas, maka zaman ditandai bukan hanya kemelaratan materiil tapi juga etik-moral-spiritual. Nilai-nilai moral kacau. Moral bejat meluas dan tak disadari. Maling berkotbah menjadi nafas sehari-hari.
Tentang jutya, tentunya sudah jelas. Zaman Edan ditandai meluasnya kejahatan saat maling, kecu, garong, perampok, pembunuh, pemerkorsa, penipu, penyiksa, pembohong, koruptor, manipulator dan sejenisnya merajalela.
Kerunyaman tiga sektor itu saling bersangkut paut dan melahirkan bendhu alias marah, yang selanjutnya jadi ciri pokok Zaman Edan alias Kala Bendhu. Cirinya, mayoritas orang marah-marah. Banyak konflik. Angkara murka jadi raja. Orang sibuk demi kepentingan sendiri, berderma satu juta sambil mencuri satu triliun. Segala cara dihalalkan.
Terpenting, Zaman Edan itu lebih menyangkut sirkuit atas. Pujangga menulis terikat zamannya ialah budaya feodalistik yang tak akan pernah memakai rakyat jelata - sebab gengsi - sebagai sumber inspirasi. Jadi, isu pokok Zaman Edan ialah mental bejat-kocak sirkuit atas sebagai sumber kekacauan menyangkut artati-nistana-jutya yang ujungnya ialah sikon tanpa norma yang mengerikan.
Perhitungan Zaman
Uraian di atas sekadar deskripsi Zaman Edan yang volumenya cuma 1/21 Ramalan Jayabaya. Moga-moga tak ada sangkut pautnya dengan zaman kita. Tapi untuk safenya, mari kita kontrol, lewat kerangkanya yang menyeluruh.
Yang disebut Ramalan Jayabaya sebenarnya terbingkai dalam seluruh karya Jayabaya semacam Kitab Asrar, Jayabaya Kidung, Jayabaya Prabitiwakya, Musarar Kidung, Jayabaya Pranitiradya, Jangka Ratu Galuh Kidung, Jayabaya Pancaniti, Lambang Negara Kidung dan masih banyak lagi.
Dari aneka kitab-serat-arsip tersebut dan berkat utak-atik banyak orang yang tekun, kita diwarisi periodisasinya. Ramalan Jayabaya ini merangkum waktu 2100 tahun rembulan, terbagi dalam 3 zaman besar alias Kali ialah Swara, Yoga dan Sangara. Tiap Kali berlangsung 700 tahun dan dibagi dalam 7 zaman kecil alias Kala, masing-masing 100 tahun. Seluruhnya berlangsung antara tahun rembulan 0-2100 alias tahun 78-2163. Tahun 2163 siap-siap kiamat!
Termasuk zaman besar pertama Kali Swara ialah Kala Kukila, Budha, Brawa, Tirta, Rwabara, Rwabawa dan Kala Purwa. Zaman besar kedua Kali Yoga ialah Kala Brata, Dwara, Dwapara, Praniti, Tetaka, Wisesa, dan Kala Wisaya. Zaman besar terakhir Kali Sangara terdiri atas zaman-zaman kecil Kala Jangga, Sakti, Jaya, Bendhu alias Zaman Edan, Suba, Sumbaga dan Kala Surata.
Setia pada anatomi dan perhitungan tahun Ramalan Jayabaya, kita yang hidup saat ini boleh lega. Seperti dipaparkan di awal tulisan, Kini tahun 2001 alias tahun Jawa 1933/1934. Jadi, kita masuk zaman kala Sumbaga bagian kali Sangara, yang berlangsung antara 1900-2000 tahun Jawa. Zaman Edan sudah lewat lebih seabad lalu.
Kala Sumbaga adalah zaman yang ditandai dengan andana (memberi), karena (kesenangan) dan sriyana (tempat baik). Ini zaman apa-apa murah. Orang suka berderma dan berlomba berbuat baik. Semua girang, hati senang, segala berlimpah. Semua tempat nyaman dihuni orang. Negara kondhang. Para pemimpin negara berbudi luhur merak-ati sedap dipandang dan eling lawan waspodo demi kemuliaan bangsa dan negara.
Sumber data: Saduran dari internet.
0 komentar:
Posting Komentar