13.06
0


Kehidupan Manusia di masa lalu relatif stabil. Ketenangan merupakan keseharian dalam mayoritas kehidupan mereka karena minimnya faktor-faktor yang mempengaruhi kejiwaan ketika itu.

Namun kehidupan sekarang yang berbasis kehidupan modern, makin lama kian semakin keras dan saling memangsa, sehingga memunculkan berbagai macam penyakit keterasingan (alienasi) yang secara konseptual menurut Haidar Nasir ada tiga macam, yaitu keterasingan ekologi (manusia secara mudah merusak dan dengan penuh kerakusan tanpa peduli dengan kelangsungan hidup di masa depan bagi semua orang), etologis (sebuah realitas dimana sementara orang-orang di negeri ini mulai mengingkari hakekat dirinya hanya karena memperebutkan materi dan mobilitas kehidupan) dan keterasingan kesadaran (yang ditandai oleh hilangnya keseimbangan kemanusiaan karena meletakkan rasio atau akal pikiran sebagai satu-satunya penentu kehidupan yang menafikan rasa dan akal budi).

Berdasarkan corak kehidupan tersebut (kehidupan modern) yang mana selalu memaksa kita menjadi manusia materialistis dan hedonistic, yang hanya menekankan aspek-aspek lahiriyah semata, yang akibatnya kehidupan manusia mengalami kegersangan spiritual dan dekandensi moral serta mengakibatkan kegersangan spiritual hingga menimbulkan gejolak diri (tekakan diri) yang sering kita sebut stres.

DEFINISI STRES

Menurut Hanna Djumhana Bastaman, sebagaimana yang dikutip dalam skripsinya Musaidah dalam proses studi S1-nya di Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang, bahwa satu hal pokok dari kehidupan modern adalah hilangnya makna hidup yang berakibat pada hilangnya orientasi, hilangnya tujuan hidup, hilangnya moralitas dan ‘kesemrawutan pola kehidupan”, yang akhirnya bermuara pada menjalarnya stres dalam dimensi yang kian komplek.
Kehidupan modern yang materialistis dan hedonistic hanya menekankan aspek-aspek lahiriyah semata, yang akibatnya kehidupan manusia mengalami kegersangan spiritual dan dekadensi (kemunduran) moral serta stres menjadi fenomena yang lumrah.
Dalam perkembangan selanjutnya, dampak dekadensi moral dan stres tidak hanya mengenai gangguan fungsional hingga kelainan organ tubuh tetapi juga berdampak pada bidang kejiwaan seperti kecemasan atau depresi.
Kecemasan merupakan gangguan alam perasaan yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan. Begitu juga, depresi merupakan gangguan perasaan yang ditandai dengan kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan hingga hilangnya kegairahan hidup.
Pada gejala stres yang dikeluhkan penderita didominasi oleh keluhan-keluhan somatik (fisik) tetapi dapat pula disertai keluhan psikis. Pada gejala cemas yang dikeluhkan penderita di dominasi keluhan-keluhan psikis tetapi dapat pula disertai keluhan somatik. Pada gejala depresi yang dikeluhkan penderita didominasi oleh keluhan psikis tetapi dapat pula disertai keluhan somatik.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, dalam terminologi Indonesia, stres disebut juga dengan istilah cemas. Secara etimologi, stres berasal dari pengertian istilah Yunani yaitu merimnao yang merupakan paduan dua kata, yaitu meriza (membelah, bercabang) dan nous (pikiran). Dari kedua istilah ini pengertian stres berarti membagi pikiran antara minat-minat yang baik dengan pikiran-pikiran yang merusak. Oleh sebab itu, orang yang mengalami stres tidak mungkin mengalami kesejahteraan pikiran sebab pikirannya bercabang antara minat-minat yang layak dan pikiran-pikiran yang merusak. Pikiran yang merusak tersebut disebabkan oleh ancaman karena hal-hal yang tidak mengenakkan maupun karena sesuatu yang menyenangkan kepribadian seseorang. Hal ini membuat mekanisme keseimbangan terganggu sehingga memacu timbulnya stres.
Pengertian stres yang mengacu pada konsepsi stres merupakan respon diantaranya dikemukakan oleh E.P. Gintings. Menurut Gintings (1999 : 5-6), stres ialah reaksi tubuh manusia kepada setiap tuntutan yang dialami oleh seseorang dalam hal sebagai berikut: Pertama: keletihan dan kelelahan akibat kehidupan. Kedua: suatu keadaan yang dinyatakan oleh suatu sindroma khusus dari peristiwa bilogis baik menyenangkan maupun tidak. Ketiga: mobilisasi pembelaan tubuh yang memungkinkan adaptasi terhadap peristiwa kekerasan atau ancaman. Keempat: terganggunya mekanisme keseimbangan dalam diri seseorang yaitu keseimbangan dalam dan keseimbangan luar yang sifatnya fisik, mental dan spiritual oleh karena perubahan yang mendadak yang sifatnya tidak menyenangkan maupun yang menyenangkan. Kelima: mengecilnya potensi seseorang karena adanya luka-luka perasaan, beban berat dan kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi dalam diri seseorang.
Menurut Dadang Hawari, sebagaimana dikutip dalam skripsinya Musaidah dalam proses studi S1-nya di Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang, stres adalah respon tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya. Misalnya bagaimana respons tubuh seseorang manakala yang bersangkutan mengalami beban pekerjaan yang berlebihan. Bila ia sanggup mengatasinya artinya tidak ada gangguan pada fungsi organ tubuh, maka dikatakan yang bersangkutan tidak mengalami stres, tetapi sebaliknya bila ternyata ia mengalami gangguan pada satu atau lebih organ tubuh sehingga yang bersangkutan tidak lagi menjalankan fungsi pekerjaannya dengan baik, maka ia disebut mengalami distres.
Menurut Bart Smet, sebagaimana yang dikutip oleh Kuntjojo dalam dalam psikologi abnormal: Program Studi Bimbingan Dan Konseling Universitas Nusantara Pgri Kediri, secara garis besar terdapat tiga garis besar mengenai stres :

1. Stres sebagai stilumus
Menurut konsepsi ini stres merupakan stimulus yang ada dalam lingkungan (environment). Individu mengalami stres bila dirinya menjadi bagian dari lingkungan tersebut. Dalam konsep ini stres merupakan variable bebas sedangkan individu merupakan variabel terikat.
Stress sebagai stimulus dapat dicontohkan : lingkungan sekitar yang penuh persaingan, misalnya di terminal dan stasiun kereta api menjelang lebaran. Mereka yang ada di lingkungan tersebut, baik itu calon penumpang, awak bus atau kereta api, para petugas, dst., sulit untuk menghindar dari situasi yang menegangkan (stressor) tersebut. Hal serupa juga dapat diamati pada lingkungan di mana terjadi bencana alam atau musibah lainnya, misalnya banjir, gunung meletus, ledakan bom di tengah keramaian, dst.

2. Stres sebagai respon
Konsepsi kedua mengenai stres menyatakan bahwa stress merupakan respon atau reaksi individu terhadap stressor. Dalam konteks ini stress merupakan variable tergantung (dependen variable) sedangkan stressor merupakan variable bebas atau independent variable.
Respon individu terhadap stressor memiliki dua konponen, yaitu: komponen psikologis, misalnya terkejut, cemas, malu, panik, nerveus, dst. dan komponen fisiologis, misalnya denyut nadi menjadi lebih cepat, perut mual, mulut kering, banyak keluar keringat dst. respon-repons psikologis dan fisiologis terhadap stressor disebut strain atau ketegangan.

3. Stres Sebagai Interaksi antara Individu dengan Lingkungan
Menurut pandangan ketiga, stress sebagai suatu proses yang meliputi stressor dan strain dengan menambahkan dimensi hubungan antara individu dengan lingkungan. Interaksi antara manusia dan lingkungan yang saling mempengaruhi disebut sebagai hubungan transaksional. Di dalam proses hubungan ini termasuk juga proses penyesuaian.

Dalam konteks stres sebagai interaksi antara individu dengan lingkungan, stres tidak dipandang sebagai stimulus maupun sebagai respon saja, tetapi juga suatu proses di mana individu juga merupakan pengantara (agent) yang aktif, yang dapat mempengaruhi stressor melalui strategi perilaku kognitif dan emosional.
Konsepsi di atas dapat diperjelas berdasarkan kenyataan yang ada. Misalnya saja stressor yang sama ditanggapi berbeda-beda oleh beberapa individu. Individu yang satu mungkin mengalami stres berat, yang lainnya mengalami stres ringan, dan yang lain lagi mungkin tidak mengalami stres. Bisa juga terjadi individu memberikan reaksi yang berbeda pada stressor yang sama. Faktor apa saja yang menyebabkan gejala demikian?

Menurut Bart Smet (1994 : 130-131), reaksi terhadap stres bervariasi antara orang satudengan yang lain dan dari waktu ke waktu pada orang yang sama, karena pengaruh variabel-varibel sebagai berikut.
a. Kondisi individu, seperti : umur, tahap perkembangan, jenis kelamin, temperamen, inteligensi, tingkat pendidikan, kondisi fisik, dst.
b. Karakteristik kepribadian, seperti : introvert atau ekstrovert, stabilitas emosi secara umum, ketabahan, locus of control, dst.
c. Variabel sosial-kognitif, seperti ; dukungan sosial yang dirasakan, jaringan sosial, dst.
d. Hubungan dengan lingkungan sosial, dukungan sosial yang diterima, integrasi dalam jaringan sosial, dst.
e. Strategi coping.

UNSUR-UNSUR STRES
Sebagai bagian dari perjalanan kehidupan, stres merupakan hal yang rumit dan kompleks. Oleh karena itu stres dapat dilihat dari sudut pandang yang berbeda.
Dalam peristiwa stres, sekurang-kurangnya ada tiga hal yang saling berkaitan, yaitu peristiwa, orang, serta keadaan yang menjadi sumber stres, orang yang mengalami stres dan hubungan antara orang yang mengalami stres dengan hal yang menjadi penyebab stres beserta segala yang bersangkut.
Penyebab stres pun bersumber dari berbagai hal, dari pribadi, orang lain bahkan lingkungan juga menjadi penyebab stres, yang mana semua itu disebut sebagai stresor. Jika dipandang dari segi luar dan hal-hal yang menjadi sumber stres itu, stres dimengerti sebagai rangsangan (stimulus). Dari segi orang yang mengalami Stres, kita dapat memusatkan perhatian pada tanggapan orang itu terhadap hal-hal yang dinilai mendatangkan Stres.
Tanggapan orang terhadap sumber stres dapat menggejala pada psikologis dan fisiologis. Tanggapan itu disebut strain, yaitu tekanan atau ketegangan. Hal ini terjadi karena senyatanya orang yang sedang mengalami stres secara psikologis menderita tekanan dan ketegangan yang membuat pola berpikir, emosi dan perilakunya kacau. Dia menjadi gugup dan gelisah (nervous). Secara fisiologis, kegugupan dan kegelisahan itu menggejala pada denyut jantung yang cepat, perut terkocok mual, mulut kering dari air liur, dan keringat yang mengucur di seluruh tubuh (gejala secara fisik).
Hubungan antara orang yang mengalami stres dan keadaan (situation) yang penuh stres merupakan proses. Dalam proses itu, hal yang mendatangkan stres dan pengalaman orang yang terkena stres terkait erat. Proses itu merupakan pengaruh timbal balik dan menciptakan usaha penyesuaian, atau tepatnya penyeimbangan, yang terus menerus antara orang yang mengalami stres dan keadaan yang penuh stres itu. Artinya, hal yang mendatangkan stres mempengaruhi orang yang mengalami stres, dan hal yang mendatangkan stres ditanggapi oleh orang yang mengalami stres. Proses saling pengaruh dan mengimbangi antara orang yang mengalami stres dan keadaan yang penuh stres itu disebut transaksi (transaction). Karena perbedaan cara, kemampuan dan keberhasilan orang-orang dalam mempengaruhi dampak yang mendatangkan stres akan berakibat pada sedikit atau banyaknya stres yang dialami.
Perlu kita ketahui, dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak bisa lepas dari stres, namun yang menjadi permasalahan adalah bagaimana manusia dapat beradaptasi dengan stres tanpa harus mengalami distres. Tidak semua bentuk stres itu mempunyai konotasi negatif, akan tetapi juga ada yang bersifat positif, misalnya saja promosi jabatan. Jabatan yang lebih tinggi memerlukan tanggung jawab yang lebih berat dan merupakan tantangan bagi yang bersangkutan. Bila ia sanggup menjalankan beban tugas jabatan yang baru ini dengan baik tanpa ada keluhan, baik fisik maupun mental serta merasa senang, maka ia dikatakan tidak mengalami stres melainkan disebut eustres. Dan sesuatu yang melatarbelakangi permasalahan di sebut stresor.
Respon atau reaksi seseorang terhadap Stresor psikososial (keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang sehingga seseorang itu terpaksa mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri untuk menanggulanginya) yang dialaminya berbeda satu dengan lainnya. Ada yang menunjukkan gejala-gejala stres, ada juga yang menunjukkan gejala-gejala kecemasan dan atau depresi. Tidak jarang ketiga gejala tersebut juga saling tumpang tindih, sebab dalam pengalaman klinis jarang ditemukan ketiga gejala tersebut, masing-masing berdiri sendiri. Pada gejala stres, gejala yang dikeluhkan penderita selain didominasi oleh keluhan-keluhan somatik (fisik), dapat pula disertai keluhan keluhan psikis. Pada gejala cemas gejala yang dikeluhkan penderita selain didominasi oleh keluhan-keluhan psikis (ketakutan dan kekhawatiran), dapat pula disertai keluhan-keluhan somatik (fisik). Pada gejala depresi, gejala yang dikeluhkan penderita selain didominasi oleh keluhan keluhan psikis (kemurungan dan kesedihan), dapat pula disertai keluhan somatik.

SOLUSI STRES
Ada cara yang efektif yang dapat dilakukan dalam menangai stres, yakni, menurut Kuntjojo terdapat dua usaha dalam menangani stres:

a. Prinsip homeostatis
Stres merupakan pengalaman yang tidak menyenangkan dan cenderung bersifat merugikan. Oleh karena itu setiapindividu yang mengalaminya pasti berusaha mengatsi masalah ini. Hal demikian sesuai dengan prinsip yang berlaku pada organisme, khususnya manusia, yaitu prinsip homeostatis.
Menurut prinsip ini organisme selalu berusaha mempertahankan keadaan seimbang pada dirinya. Sehingga bila suatu saat terjadi keadaan tidak seimbang maka akan ada usaha mengembalikannya pada keadaan seimbang. Prinsip homeostatis berlaku selama individu hidup. Sebab keberaan prinsip pada dasarnya untuk mempertahankan hidup organisme. Lapar, haus, lelah, dts. merupakan contoh keadaan tidak seimbang. Keadaan ini kemudian menyebabkan timbulnya dorongan untuk mendapatkan makanan, minuman, dan untuk beristirahat. Begitu juga halnya dengan terjadinya ketegangan, kecemasan, rasa sakit, dst. mdondorong individu yang bersangkutan untuk berusaha mengatasi ketidak seimbangan ini.

b.Psoses coping terhadap stres
Menurut Bart Smet, coping mempunyai dua macam fungsi, yaitu : (1) Emotional-focused coping dan (2) Problem-focused coping. Emotionalfocused coping dipergunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stress. Pengaturan ini dilakukan melalui perilaku individu seperti penggunaan minuman keras, bagaimana meniadakan fakta-fakta yang tidak menyenangkan, dst. Sedangkan problem-focused coping dilakukan dengan mepelajari keterampilan-keterampilan atau cara-cara baru mengatsi stress.
Menurut Bart Smet, individu akan cenderung menggunakan cara ini bila dirinya yakin dapat merubah situasi, dan metoda ini sering dipergunakan oleh orang dewasa.Berbicara mengenai uapaya mengatasi Stres, Maramis, berpendapat bahwa ada bermacam-macam tindakan yangdapat dilakukan untuk itu, yang secara garis besar dibedakan menjadi dua, yaitu (1) cara yang berorientasi pada tugas atau task oriented dan (2) cara yang berorientasi pada pembelaan ego atau ego defence mechanism.

Mengatasi stres dengan cara berorientasi pada tugas berarti upaya mengatasi masalah tersebut secara sadar, realistis, dan rasional. Menurut Maramis cara ini dapat dilakukan dengan “serangan”, penarikan diri, dan kompromi. Sedangkan cara yang berorientasi pada pembelaan ego dilakuakn secara tidak sadar (bahwa itu keliru), tidak realistis, dan tidak rasional. Cara kedua ini dapat dilakukan dengan : fantasi, rasionalisasi, identifikasi, represi, regresi, proyeksi, penyusunan reaksi (reaction formation), sublimasi, kompensasi, salah pindah (displacement).
Ada deksripsi lainnya tentang coping terhadap stress, yaitu dengan flight response (upaya menghadapi stress dengan tindakan menghindar dari masalah atau situasi penyebab stress) , fight response (usaha menghadapi stress dengan cara menghadapi dan menyelesaikan masalah atau stressor), dan freeze response (tindakan menghadapi stress dengan berdiam diri, pasrah dan menyerah terhadap apa yang terjadi pada dirinya).
Ketika terapi diri diatas tidak mampu mengatasi, maka terapi yang dapat dilakukan untuk mendukung terapi diri (coping stress), menurut Hawari, dengan pendekatan manajemen yang sifatnya holistik meliputi terapi psikofarma, psikoterapi, terapi psikoreligius.
Dengan terapi psikoreligius inilah tasawuf memberikan alternatif bimbingan yang efektif, sehingga wajar apabila eksistensi tasawuf dalam realitas masyarakat akhir-akhir ini semakin mendapat tempat dengan semakin maraknya lembaga bimbingan tasawuf baik yang berbentuk formal maupun yang berafiliasi dengan thariqoh, bahkan ada kesan tasawuf menjadi tren baru dari kecenderungan masyarakat.
Dalam islam, inti ajarannya terdiri dari 3 hal, yaitu: Islam, Iman dan Ihsan. Secara kebahasaan, Islam dan Iman tak perlu kita jabarkan. Ihsan berarti indah atau memperindah amal kebaikan. Ihsan inilah yang menjadi ide dasar ajaran tasawuf.
Tasawuf dalam artikulasinya tidak dapat dilepaskan dari konsep dzikir). Secara bahasa, dzikir bermula dari zakara, yadzkuuru, dzukr / dzikr, merupakan perbuatan dengan lisan (menyebut, menuturkan) dan dengan hati (mengingat/menyebut dan mengingat).
Sementara itu, stres merupakan wujud dalam anxiety neurosis atau disebut juga neurosa kecemasan yaitu bentuk neurosa dengan gejala paling mencolok, ketakutan yang terus menerus terhadap bahaya yang seolah-olah terus mengancam, yang sebenarnya tidak nyata tetapi hanya dalam perasaan penderita saja. Senada dengan definisi ini, Hanna Djumhana Bastaman memberikan pengertian tentang kecemasan yaitu :
Ketakutan terhadap hal-hal yang belum tentu terjadi. Perasaan cemas biasanya muncul bila kita berada dalam suatu keadaan yang kita duga akan merugikan dan kita rasakan akan mengancam diri kita dimana kita merasa tidak berdaya menghadapinya. Sebenarnya apa yang kita cemaskan iru belum tentu terjadi. Dengan demikian, rasa cemas itu sebenarnya ketakutan yang kita ciptakan sendiri. Hampir dalam segala hal, seorang pencemas selalu khawatir dan takut”.
Sedangkan Zakiyah Daradjat memberikan pengertian tentang kecemasan bahwa :
Kecemasan adalah : manifestasi dari berbagai proses yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Kecemasan itu mempunyai segi yang disadari yaitu seperti rasa takut, tidak berdaya, rasa berdosa/bersalah, terancam dan sebagainya. Oleh karena itu rasa cemas terdapat dalam semua gangguan dan penyakit jiwa.
Dengan demikian anxiety neurosis ialah; symptom ketakutan dan kecemasan terhadap bahaya yang seakan-akan mengancam, yang sebenarnya tidak nyata tetapi hanya dalam perasaan penderitanya saja. Perasaan cemas ini berasal dari perasaan tidak sadar yang berada di dalam kepribadian sendiri, jadi tidak berhubungan dengan objek yang nyata atau keadaan yang benar-benar ada.
Perlu kita sadari, stres, kecemasan, depresi pada intinya terletak pada pemahamana (fikiran) yang salah (keliru) terhadap kenyataan, serta hilangnya kesadaran diri. Dan sangkut paut dengan tasawuf (sufi healing) adalah untuk meluruskan hal tersebut dengan cara mengingat dan meningkatkan kesadaran dan kembali ke jalan yang ditentukan oleh Allâh.
Bagi kaum sufi, pengobatan secara tasawuf (sufi healing) telah mereka lalui ketika memasuki beberapa tahap kesufian (takhalli, tahalli, tajalli) dan mujahadah dan riyadhah. Akan tetapi bagi orang awam, banyak jalan yang bisa ditempuh untuk melakukan healing sufistik. Diantaranya: Dzikir, do’a, shalat, shalawat, serta mendengarkan musik.


DAFTAR PUSKATA


Atjeh, Aboebakar , Pengantar Ilmu Tarekat, Solo: Ramadhani, 1985.
Daradjad, Zakiah, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Jakarta: Gunung Agung, 2001.
Musaidah, Studi Analisis Terhadap Pemikiran Yunasril Ali Tentang Tasawuf Sebagai Terapi Stres Dalam Perspektif Bimbingan Konseling Islam, Skripsi, IAIN Walisongo, 2006.
Syukur, Amin, Sufi Healing: terapi dalam literature tasawuf, Semarang: Walisongo press, 2010, h.
Kuntjojo: stres. Disadur di http://ebekunt.wordpress.com/2009/06/30/stres-3/: 10 Juni 2011, jam 8:14 wib.
http://makalah-ibnu.blogspot.com/2008/10/manajemen-stres-ala-sufi.html - _ftn1

0 komentar:

Posting Komentar