Sore itu tak ada yang berbeda dengan hari biasanya, setelah seharian jualan untuk menumpang hidupku dan keluarga. Maklum aku adalah anak dari seorang yang sederhana. Setelah hampir empat bulan aku lulus dari Aliyah, keluargaku tak sanggup untuk membiayai mimpiku. Mimpi untuk merubah keluargaku dari kegelapan.
Tapi entahlah, dalam anganku belajar tak hanya pada bangku formal. Itulah yang biasa di ucapkan sahabatku, yang sekarang merantau di kota seberang, yang nasibnya (mungkin) lebih baik dari nasibku.
Hari-hari ku habiskan ditempat ini. Dari sejak pagi, aku slalu disibukkan oleh orang-orang yang (ku rasa) menuruti ego. Entah kenapa, seakan ditempat aku mengais rizki, takkan pernah sepi dari pengunjung, maklum pasar tradisional adalah tempat aku kerja. Dari sinilah aku bisa memenuhi keperluan hidupku.
“Ngroto-ngroto”….suara yang tak asing dari telingaku, Itulah nama desaku. Dari seberang jalan terdengar seorang kenek memanggilku, “ngroto Mbak?” Sapa tukang kenek angkot kebanggaan desaku. “ya Pak” jawabku dengan nada agak keras. Angkot hijau inilah yang selalu setia mengantarku pulang maupun pergi.
Tak lama angkot yang semula kosong menjadi bersesakan oleh penumpang yang mempunyai tujuan sama denganku. Hari besok merupakan hari yang dinanti-nanti oleh berjuta-juta umat islam. Di dalam angkot, sambil melepas lelah aku berkhayal semoga sesampainya di rumah aku bisa berkumpul bercanda tawa bersama keluarga, sambil mengumandangkan takbir, untuk menanti hari raya kurban, meski hanya ditemani oleh makanan seadanya.
“Ngroto-ngroto, Balai Desa” sekejap suara kenek menghancurkan khayalku. “ngroto Pak, kiri….” Sautku untuk menghentikan angkot yang melaju dengan kencang. Sesampainya di rumah, aku biasa berhenti di kamar mandi yang jaraknya tidak jauh dari rumahku, untuk sejenak membasuh muka (untuk sedikit) menghilangkan rasa lelah.
Sesampainya aku di halaman rumah aku merasa ada perasaan yang tak enak. Biasanya setiap aku pulang, kakakku selalu berada di halaman rumah, sambil menunggu adzan magrib tiba. Tapi ini tidak, tidak ada satupun keluargaku yang di halaman.
“assalamu’alaikum, mak, mbak….” Tanyaku!..!
Dari dalam kamar bapak, kakakku keluar dengan raut muka gelisah.
“mbak ada apa,….?” Tanyaku dengan perasaan tak enak.
“pae neng, penyakit pae kumat …! Jawabnya dengan penuh gelisah.
Terasa terkena setrum, akupun tak berdaya, menahan kepanikan. Hari yang seharusnya aku sambut dengan penuh kegembiraan kini harus aku sambut dengan penuh kegelisahan. Sungguh malang nasibku, aku malu kepada diriku sendiri, aku tak bisa membantu apa-apa? Sungguh hina diriku.
Ku sandarkan tubuh keringku ini ditembok. Aku bingung harus berbuat apa. Mau minta tolong, minta tolong kepada siapa, sedangkan bapakku sekarang membutuhkan pengobatan. Sedangkan diriku tak punya uang untuk berobat bapakku. Aku tak mampu berfikir, aku tak punya daya lagi, aku tak ingin kehilangan bapakku.
Apa yang harus aku lakukan…? Ya Allah bantulah hamba.
“mbak, HP dimana?” Tanyaku.
“diatas meja, kenapa ning”,
Aku tak mampu menjawab. Aku langsung mengambilnya, ku lihat satu-persatu nama yang ada di phonbook hpku. Aku sendiri ragu dengan yang aku lakukan. Tapi aku berharap aku menemukan teman yang dapat membantu kesusahanku. “Ya, hanya dia yang sekarang dapat membantuku” gumanku.
Tanpa panjang waktu akupun langsung menelphon kakak kelasku. “assalamu’laikum…” setelah beberapa detik terdengar suara dari telphon ku.
“wa’alaikum salam…” jawaku?.
“ada apa ning?, tumben nelphon”.
“tidak ada apa-apa kak, Cuma pengen minta tolong, kak bisa kerumahku sekarang tidak?”
“memang ada apa?”.
“kesini dulu kak, nanti tak critain disini”.
“ya bisa, tapi setelah isya”. Jawabnya.
“ya kak tidak mengapa, makasih ya kak, asslamu’alaikum”.
“wa’alaikum salam”.
Waktu seakan tak berjalan, tak kuasa aku mendengar jeritan bapakku, merintih kesakitan. Aku sudah tak bisa berfikir normal. Pikiranku kacau, hanya uang yang ada dipikiranku. Tak lama kemudian terdengar salam dari luar rumah.
“assalamu’alaikum”, bergegas aku keluar menemui kakak kelasku, “wa’alaikum salam” jawabku sambil menuju keluar rumah.
“silahkan duduk kak..”, ajakku.
“Ya, terimakasih” jawabnya.
Tanpa buang waktu “kak panjenengan punya uang tidak” tanyaku dengan penuh harapan.
“memang ada neng?” Dia malah balik bertanya.
“bapakku kak, bapakku sakit, aku sekarang tak punya uang untuk menebus obat?” “sakit apa” “maagnya kambuh kak” jawabku.
“berapa?” Tanyanya kepadaku.
“empat ratus ribu kak”.
Tak lama diapun merogoh dompet yang ada di sakunya.
“ini neng, semoga dapat membantu..!”
“aku langsung balik ya neng”.
“ya kak, terimakasih” jawabku.
Setelah kakak kelasku pulang, akupun langsung pergi ke apotek terdekat untuk menebus obat bapakku sambil menjemput tukang pijit langganan bapak. Setelah beberapa jam kemudian, akhirnya aku bisa bernafas lega. “Alhamdulillah” gumanku, sambil ku susul dengan takbir. “Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar, Walillahilmahd”.
sn_collectio
tulisan ini ku persembahkan buat sahabat baikku di MA Hasan Kafrawi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar