11.48
0
Setelah Catatan Harian Si Boy (Putrama Tuta, 2011) memperbarui konsep dan peran keluarga dari sudut pandang generasi muda—dengan menyimpulkan bahwa keluarga batih adalah wujud yang disfungsional dan peranannya sudah diambil alih oleh peer group, kini giliran Get Married 3 yang mengulasnya. Bahkan, film arahan Monty Tiwa ini mempromosikan kembali konsep dan peranan keluarga besar (extended family) dalam menopang kebahagiaan hidup.

Di saat para peneliti dan otoritas terkait memprediksi bahwa keluarga batih (nuclear family) mulai ditinggalkan oleh masyarakat perkotaan sebagai akibat perubahan pola hidup dan wujud antisipasi dari pemenuhan kebutuhan hidup yang ideal, Get Married 3 justru menunjukkan secara komikal bahwa keluarga besar sejatinya sudah mendarah-daging dalam tubuh masyarakat, bahkan di perkotaan sekalipun. Tak ada yang bisa mengelak darinya, termasuk pasangan suami-istri muda dari kalangan urban yang modern, seperti Rendy (Fedi Nuril) dan Mae (Nirina Zubir).

Memiliki dua buah hati barangkali tidak cukup untuk membuktikan kompetensi mereka sebagai orangtua yang becus mengurus anak. Maka dianugerahilah mereka tiga anak kembar yang lucu nan menggemaskan. Penantian selama empat tahun lebih akhirnya memang terbayar lunas, namun persoalan tak pernah berhenti datang. Semua berawal dari keinginan Rendy dan Mae untuk menerapkan otonomi keluarga yang bebas dari campur tangan orangtua dalam membesarkan anak-anaknya.

Harapan orangtua Mae (Meriam Bellina dan Jaja Mihardja), Mama (Ira Wibowo) dan adik Rendy, Sophie (Kimberly Ryder), serta ketiga sahabat baik mereka, Eman (Aming), Beni (Ringgo Agus Rahman), dan Guntoro (Deddy Mahendra Desta), untuk punya andil dalam mengurus si kembar pun sirna. Mereka meninggalkan rumah besar kediaman Rendy dan Mae dengan langkah berat dan sedih. Namun ego besar Rendy dan Mae sebagai orangtua yang dewasa ternyata hanya bertahan selama tiga bulan. Kepercayaan antara pasangan ini meretak karena kelalaian Mae yang menggantung si bungsu, Hanung, di tali jemuran. Komitmen Mae untuk menjadi orangtua yang baik pun dipertanyakan Rendy.

Kejadian tersebut lalu memicu baby blues dalam diri Mae. Emosinya labil. Mood Mae jadi tak karuan. Sedikit-sedikit ia menangis. Kebahagiaan yang tadinya mencuat karena kelahiran buah hati dengan cepat tersisih oleh sindrom depresi Mae. Rendy yang merasa bersalah karena sudah menuding sang istri tak ingin situasi ini terus berlanjut. Ia pun melanggar sendiri komitmennya dengan diam-diam meminta Eman, Beni, dan Guntoro untuk membantu Mae dalam mengurus ketiga anak kembarnya selagi ia harus dinas ke luar negeri.

Sebagaimana yang sudah berulang kali dipaparkan oleh para pakar kesehatan, salah satu penyebab sindrom yang kerap menimpa para ibu muda ini adalah kurangnya dukungan dari pasangan atau anggota keluarga lainnya dalam hal merawat anak. Sindrom baby blues pada akhirnya membuka pintu masuk bagi keterlibatan para anggota keluarga besar dalam urusan rumah tangga Rendy dan Mae. Satu-persatu anggota keluarga yang tadinya terusir satu-persatu dapat diterima kembali oleh Mae.

Perlahan-lahan, baby blues minggat dari diri Mae, tapi juga menyadarkannya soal peranan keluarga besar yang ia miliki. Ego Mae mulai surut, dan berkat sindrom itu pula, Rendy mengintrospeksi diri. Ia sadar belum bisa disebut ayah yang becus mengurus anak, bahkan mengganti popok saja sampai harus diajari Eman. Walau demikian, berbeda dengan Mae, ego Rendy tetap membuncah. Introspeksi Rendy belum sampai ke inti dirinya. Ia lalu ingin mengusir lagi keluarga besarnya karena merasa tak dipercaya mengurus anak. Kali ini metodenya agak kasar, yakni dengan mendatangkan predator dari jazirah Arab, yakni Nyai (Ratna Riantiarno), nenek Mae dan mertua musuh bebuyutan ayah Mae.

Rencana berhasil. Ayah Mae mundur dan minggat dari rumah. Eman, Beni dan Guntoro juga malas datang ke rumah Mae. Semua orang tak tahan dengan nenek yang sudah 45 tahun kerja sebagai TKW di Arab Saudi dan mengaku telah mengasuh putra-putri Osama bin Laden itu.

Apa? Nyai ikut mengurus dan membesarkan anak-anak Osama bin Laden? Tentu ucapan itu seperti klaim dan gertak yang berlebihan. Namun bukan sekali itu saja penulis skenario Cassandra Massardi menyusun karakterisasi para tokohnya dengan menyematkan aspek interior (riwayat hidup) dan eksterior (info tentang pekerjaan, status diri, dan sisi privasi kehidupan) yang berlebihan sekaligus karikatural. Implikasinya tampak, misalkan, pada rangkaian adegan yang memperlihatkan bagaimana orangtua Mae dan Rendy akhirnya dapat terlibat merawat cucu kembar kesayangannya; atau saat sekuens yang menggambarkan apa sebenarnya pekerjaan trio Eman, Beni, dan Guntoro.

Tujuan karakterisasi yang berlebihan itu supaya cerita menjadi masuk akal dalam bingkai yang komikal. Kelogisan memang selalu diupayakan terbentuk dalam film, seperti fungsi sindrom baby blues yang dimasukkan di sini untuk menciptakan aliran sebab-akibat, sehingga memungkinkan keluarga besar untuk mengoreksi kebuntuan peran keluarga batih Rendy dan Mae. Beruntung Get Married 3 masih tetap mewarisi ciri komikal dan karikatural dari dua jilid sebelumnya. Penggambaran yang berlebihan pun tak menjadi soal, karena sifat komikal dan karikatural memang sengaja untuk melucu.

Dari lima menit pembuka film yang memancing gelak tawa, kita langsung menyadari bahwa pembuat film ingin berguyon. Di sini, semua tokoh dikumpulkan dan berebutan memberikan nama untuk bayi kembar tiga. Lontaran-lontaran dialog yang bernada stereotip, seksis, dan jender hadir di sana-sini dalam ramuan yang rapih oleh Cassandra Massardi, sehingga tak terasa mengejek, alih-alih malah jenaka. Jelaslah Get Married 3 kembali mengajak kita untuk menertawakan isu-isu sensitif, yang kini bergeser ke wilayah privat sebab berada dalam lokus keluarga. Meski ada kalanya guyonan-guyonan itu terasa mengganggu ritme akibat terlampau banyak hal yang ingin dibercandai dalam satu rentang waktu, seperti dalam sekuens yang mengungkap pekerjaan Eman, Beni, dan Guntoro.

Guyonan paling kontekstual hadir ketika tiga bayi kembar itu dengan enteng dinamai Mark, Oprah, dan Hanung oleh kedua orang tua mereka. Selain melucu sambil memperlihatkan pola pikir para orangtua baru generasi sekarang, adegan itu juga sebagai tribute kecil kepada sutradara dua film sebelumnya: Hanung Bramantyo. Dan memang dalam perjalanannya, ketiga bayi ini tak hanya menguji ego Rendi dan Mae yang ingin memiliki keluarga otonom dari campur tangan para orangtua, tapi secara tidak sadar juga ikut mempertanyakan definisi dan peran keluarga batih dalam kehidupan urban-modern serta memadankannya dengan, sebutlah, kebenaran dari slogan terbaru Program KB (Keluarga Berencana), “Dua Anak Lebih Baik”.

Kita tahu bahwa keluarga adalah komponen terkecil dari sistem kemasyarakatan. Jadi, tak mengherankan jika sorot kamera di sini tidak lagi mengkontraskan antara tampilan dalam dan luar perkampungan kumuh Jakarta dengan perumahan mewah yang letaknya hanya dibatasi oleh tembok. Kini, kamera lebih banyak berada di dalam ruangan, lebih tepatnya rumah mewah Rendy dan Mae. Hanya beberapa kali saja kamera berkunjung ke kampung sebelah, di mana orangtua Mae dan ketiga sahabatnya tinggal. Padahal, mencermati film-film arahan Monty sebelumnya, seperti Keramat dan Maaf, Saya Menghamili Istri Anda, maupun skenario yang ditulisnya, semisal Mendadak Dangdut, sutradara ini mempunyai kepekaan lingkungan sosial yang tinggi.

Dengan gerak kamera yang intens dalam ruangan seperti itulah high-key lighting diterapkan, walhasil look film ini tak jauh berbeda dengan seri komedi situasi di televisi. Monty sengaja mengarahkan kamera dan gaya pencahayaan seperti itu, karena keharusan. Sebab kini plot menyoal tentang kehidupan privat Rendy dan Mae dalam membina keluarga. Sebuah narasi yang sebetulnya kental nuansa realisnya, dengan ataupun tanpa dibalut unsur-unsur komedi. Lewat high-key lighting, penonton sebenarnya dapat terbantu dalam memahami karakter dan akting aktor-aktris di dalamnya.

Sayangnya, akting Fedi Nuril dan Nirina Zubir tak terlalu membantu. Tadinya saya menaruh harapan pada Nirina untuk mempraktekkan method acting, mengingat ia mengalami sendiri bagaimana beratnya menjadi orangtua yang mengurus anak tanpa bantuan baby sister. Namun teriakan kencang Mae yang hiperbolis di awal film membuyarkan angan-angan itu. Teriakan itu juga menyadarkan saya tentang tugas Nirina dan Fedi yang sebenarnya sepele: membuat penonton yakin bahwa karakter Rendy dan Mae memang tak mampu mengurus tiga bayinya hanya, salah satunya, lewat adegan yang menampilkan Beni lebih piawai menggendong bayi. Dengan begitu, toh tak mengherankan apabila keluarga besar mereka pun kemudian datang ikut campur.

Download Filmnya di sini download

Peresensi: Angga Rulianto

0 komentar:

Posting Komentar